DAYA SERAP ANGGARAN; MASIH RELEVANKAH?

Oleh : Wahyu Priyono

 

Ada fenomena di setiap bulan November-Desember atau menjelang tutup tahun anggaran, hotel-hotel di Indonesia dan penerbangan Garuda Indonesia dipenuhi oleh sebagian pegawai negeri, baik pusat maupun daerah, yang sedang melakukan kegiatan konsinyering, rapat kerja, rapat koordinasi, studi banding, perjalanan dinas dan kegiatan lain yang menggunakan anggaran negara maupun anggaran daerah.

Selain itu juga, realisasi penyerapan belanja modal dan barang/jasa mengalami lonjakan yang cukup besar menjelang akhir tahun anggaran. Belanja pemeliharaan gedung dan kendaraan, pengadaan ATK, pengadaan perlengkapan kantor, jamuan tamu, dan lain sebagainya tersedot di bulan November-Desember.

Jika dilihat ke laporan keuangan masing-masing pemerintah daerah dan kementerian/lembaga negara, realiasi penyerapan anggaran terjadi kenaikan ekstrim pada bulan November-Desember atau di penghujung tahun anggaran. Alasan klasik yang menjadi penyebab hal ini, ‘untuk mengejar target penyerapan anggaran sebagai tolok ukur keberhasilan kinerja satuan kerja’.

Saat ini pemerintah masih menggunakan realisasi penyerapan anggaran menjadi salah satu tolok ukur ‘keberhasilan’ instansi pemerintah pusat maupun daerah dalam pengelolaan keuangan negara. Sebetulnya tolok ukur daya serap ini tidaklah sinkron dengan anggarannya sendiri yang katanya disusun berbasis kinerja atau dikenal dengan Penganggaran Berbasis Kinerja (PBK).

Penganggaran berbasis kinerja adalah metode penganggaran yang mengaitkan setiap pendanaan yang dituangkan dalam kegiatan-kegiatan dengan seperangkat tujuan dan sasaran yang diharapkan, termasuk di dalamnya efisiensi, efektifitas, dan ekonomis dalam pencapaian hasil dari keluaran tersebut. Keluaran dan hasil tersebut dituangkan dalam target kinerja pada setiap unit kerja.

Berdasarkan pengertian PBK di atas, sangatlah jelas bahwa tolok ukur keberhasilan pelaksanaan anggaran adalah keluaran (output) dan hasil (outcome) yang merupakan salah satu indikator kinerja. Jumlah dana yang dianggarkan hanyalah salah satu input yang dikelola oleh pemerintah untuk menghasilkan keluaran dan hasil yang telah ditetapkan dalam tujuan dan sasaran kegiatan.

Jadi tolok ukur keberhasilan dalam sistem PBK bukanlah pada besar kecilnya jumlah anggaran yang dapat direalisasikan sampai akhir tahun, tetapi sampai sejauh mana pengelolaan anggaran tersebut telah dilakukan secara ekonomis, efisien, dan efektif sesuai dengan tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan, sehingga jika di akhir tahun masih ada sisa anggaran tetapi target output telah tercapai, itu bukanlah kegagalan.

Dengan demikian, mestinya ada tiga indikator kinerja keberhasilan pengelolaan anggaran, yaitu ekonomis, efisiensi, dan efektifitas. Ekonomis mengukur input realisasi dibandingkan dengan input rencana. Jika input realisasi yang digunakan untuk melaksanakan satu kegiatan tertentu dan menghasilkan output yang sesuai tujuan, lebih kecil/sedikit dari input rencana, maka dikatakan ekonomis.

Efisiensi mengukur perbandingan antara output realisasi dengan input realisasi yang digunakan untuk menghasilkan output tersebut. Dikatakan efisien jika dengan menggunakan input yang sesuai dengan yang direncanakan, dapat menghasilkan output sesuai dengan yang diinginkan, sesuai dengan standar atau lebih baik/besar/banyak/berkualitas dari standar yang ditetapkan.

Efektifitas mengukur output yang direalisasikan dibandingkan dengan output yang direncanakan. Dikatakan efektif jika output yang dihasilkan dari suatu kegiatan dengan menggunakan input yang tersedia, minimal sama dengan output yang direncanakan baik dari segi jumlah, ukuran, maupun kualitasnya, serta dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pemerintah.

Sebenarnya ukuran efektif tidak hanya sampai output, tapi juga semestinya melihat juga outcome, impact dan benefit-nya bagi instansi yang bersangkutan dan pemerintah secara umum. Meskipun output yang dihasilkan sudah sesuai, namun jika tidak berpengaruh positif dan tidak ada manfaat untuk pemerintah/negara/rakyat akan menjadi percuma, sia-sia atau mubadzir.

Dengan menjadikan indikator kinerja ekonomis, efisien, dan efektif, tolok ukur keberhasilan pengelolaan anggaran, bukan pada besarnya daya serap anggaran, maka peluang penyimpangan atau penyalahgunaan anggaran untuk kegiatan yang tidak jelas, tidak bermanfaat dan atau fiktif dapat dihindari atau ditekan menjadi sekecil mungkin. Semoga. (wepe).