Kasus Jagung, Husnul Anggap Temuan BPK sebagai Kelebihan Pembayaran

MATARAM-Terdakwa korupsi pengadaan benih jagung tahun 2017 Husnul Fauzi mengajukan nota keberatan atas dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) di PN Tipikor Mataram. Mantan kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan NTB itu menekankan persoalan pada temuan kerugian negara hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan NTB.

Mohammad Tohriadi, penasihat hukum Husnul Fauzi mengatakan, dari dua paket pengadaan benih jagung tersebut sudah ada temuan awal dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Paket pertama yang dikerjakan PT Sinta Agro Mandiri (SAM) ditemukan kerugian negara Rp 7,559 miliar dari total anggaran Rp 17,25 miliar. Sedangkan pada paket kedua yang dikerjakan PT Wahana Banu Sejahtera (WBS) memunculkan temuan Rp 3,073 miliar dari total anggaran Rp 31,7 miliar. ”Temuan BPK itu ada kelebihan pembayaran,” kata Tohriadi membacakan nota keberatan, Senin (13/9).

Temuan itu sudah dibayar rekanan berdasarkan surat bukti lunas/setor ke kas negara dan diakui Inspektorat Jenderal Kementerian Pertanian (Itjen Kementan) RI Nomor: B.372/PW/410/G/02/2021 tanggal 16 Februari 2021. Pembayaran itu atas dasar permintaan dari Husnul selaku kuasa pengguna anggaran. “Artinya terdakwa sudah menjalankan tugasnya dengan baik,” katanya.

Belakangan muncul kerugian negara berdasarkan surat BPKP Perwakilan NTB Nomor: LHPKKN-212/PW23/5/2021 tanggal 16 Juni 2021, setelah kasus tersebut disidik Kejati NTB. Jumlahnya cukup besar, mencapai Rp 27,354 miliar. ”Temuan itu patut dipertanyakan,” ujarnya.

Menurutnya, temuan BPKP itu bertentangan dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2016 huruf A. Intinya, instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan negara adalah BPK. ”BPK memiliki kewenangan konstitusional,” ujarnya.

Sedangkan instansi lainnya seperti BPKP, Inspektorat, atau satuan kerja perangkat daerah lainnya tetap berwenang melakukan pemeriksaan dan audit pengelolaan keuangan negara. Namun tidak berwenang menyatakan adanya kerugian keuangan negara.

Dari uraian SEMA itu sudah jelas seharunya kerugian negara merujuk pada hasil audit BPK. Bukan BPKP. ”Temuan BPK yang diteruskan ke Itjen Kementan menjadi acuan dasar untuk menentukan kerugian negara,” ujarnya.

Tohriadi juga menyinggung keterlibatan Tim Pengawal dan Pengamanan Pemerintah dan Pembangunan Daerah (TP4D) NTB dalam proyek tersebut. Dimana Kejati NTB yang mengusut kasus tersebut dilibatkan dalam melakukan pengawalan. ”Sebagian anggota TP4D ini sekaligus juga menangani perkara ini. Baik sebagai penyidik peneliti maupun jaksa penuntut umum,” bebernya.

Menurutnya, jika TP4D yang sebagian besar anggotanya menangani perkara ini tidak menggunakan temuan BPK sebagai acuan, mengapa tidak melibatkan BPKP sejak awal untuk mengawal proyek tersebut. Dari hal itu muncul ketidakadilan terhadap penanganan perkara ini. ”Menurut kami tidak adil,” tandasnya.

Terkait nota keberatan terdakwa Husnul Fauzi, JPU I Wayan Suryawan tidak berkomentar apa pun. Pihaknya akan memberikan tanggapan atas nota keberatan terdakwa secara tertulis. ”Besok (14/9) langsung kita tanggapi di hadapan majelis hakim,” katanya. (arl/r1)

Sumber: Lombok Post