Meski 10 Kabupaten/Kota Raih WTP, Ini Temuan Masalah Dirilis BPK Perwakilan NTB

Meski secara keseluruhan sepuluh Kabupaten dan Kota se-NTB ini telah berhasil meraih opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan NTB atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Tahun Anggaran (TA) 2017. Namun, tetap saja BPK menemukan sejumlah permasalahan baik dalam pengelolaan keuangan maupun dalam aspek pelaksanaan fisik sejumlah proyek.

Sebagaimana diungkapkan oleh Kepala BPK RI Perwakilan NTB, Wahyu Priyono, SE., MM., Ak, CA., pada saat menggelar Media Workshop di kantor BPK RI Perwakilan NTB, pada Senin 28 Mei 2018, pokok-pokok ketidakpatuhan Pemerintah Daerah itu seperti di Kota Mataram, Pajak senilai Rp144.366.094,55 terlambat disetor serta kekurangan penyetoran PPN dan pemotongan PPh senilai Rp186.413.310.- pada sembilan OPD. “Kalau soal ini sudah lunas disetorkan,” jelas pria yang dikenal ramah ini saat menggelar Media Workshop dengan sejumlah wartawan pada Senin 29 Mei 2018 di kantor BPK RI.

Yang kedua adalah pelaksanaan 15 pekerjaan pada empat OPD tidak sesuai kontrak senilai Rp571.645.866,73 dan denda keterlambatan belum dikenakan senilai Rp32.068.165,45 dan yang ketiga adalah kelebihan pembayaran enam paket pekerjaan Belanja Jasa Pihak Ketiga pada Dinas Pariwisata Kota Mataram senilai Rp231.924.000.

Adapun Rekomendasi yang dikeluarkan oleh BPK adalah Kuasa BUD agar lebih cermat melakukan pemungutan dan pemotongan pajak dalam penerbitan SP2D. Yang kedua, Kepala OPD terkait menginstruksikan kepada PPHP dan PPK OPD terkait supaya lebih cermat melaksanakan pekerjaannya. Rekomendasi ketiga, Kepala OPD terkait supaya menarik dan menyetorkan kelebihan pembayaran senilai Rp486.530.104,31 dan rekomendasi keempat agar Sekretaris Daerah menginstruksikan PPK Sekretariat Daerah supaya memperhitungkan kekurangan volume pada pengajuan sisa pembayaran pekerjaan senilai Rp.24.895.531,74 serta mengenakan denda keterlambatan senilai Rp19.207.045,45.

Kabupaten Lombok Timur

Adapun pokok-pokok ketidakpatuhan yang diketemukan oleh BPK Perwakilan NTB di Kabupaten Lombok Timur adalah yang pertama, Pembayaran Tunjangan Profesi Guru senilai Rp81.968.105,00 tidak sesuai ketentuan. Kedua, Kelebihan pembayaran belanja pegawai senilai Rp1.298.725.000,00 atas Tunjangan Komunikasi Intensif, Tunajangan Reses, Dana Operasional dan Tunjangan Transportasi DPRD. Yang Ketiga, 16 paket pekerjaan tidak dilaksanakan sesuai kontrak senilai Rp520.487.204,85  dan denda belum dipungut senilai Rp15.120.115,25

Sementara rekomendasi yang dikeluarkan oleh BPK yakni pertama, Tim Verifikasi pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan supaya lebih cermat dalam melaksanakan tugasnya. Yang kedua, TAPD supaya lebih cermat dalam menghitung kemampuan keuangan daerah. Yang ketiga, Sekretaris DPRD, supaya lebih cermat dalam merealisasikan tunjangan transportasi bagi Pimpinan DPRD dan untuk poin keempat, Sekretaris DPRD, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan serta Kepala OPD terkait agar menarik dan menyetorkan ke Kas Daerah atas kelebihan pembayaran TPG, Tunjangan dan Dana Operasional DPRD dan kekurangan volume pekerjaan seluruhnya senilai Rp1.879.589.884,09; yang kedua agar memperhitungkan kekurangan volume pada pengajuan sisa pembayaran pekerjaan senilai Rp1.590.425,76; dan yang ketiga agar Memungut denda keterlambatan dan menyetorkan ke Kas Daerah senilai Rp15.120.115,25;

Kabupaten Lombok Barat

Adapun pokok-pokok ketidakpatuhan yang ditemukan BPK RI Perwakilan NTB di Kabupaten Lombok Barat yakni yang pertama, Pembayaran Belanja Tunjangan Pegawai senilai Rp69.126.000,00; tidak sesuai ketentuan. Yang Kedua, Kekurangan Volume atas 13 Paket Pekerjaan pada Empat OPD senilai Rp1.318.123.199,00; yang ketiga, Kekurangan Pemotongan PPh Pasal 4 ayat 2 senilai Rp64.513.063,82; dari Pelaksana Jasa Konstruksi. Yang Keempat, pengelolaan belanja bantuan keuangan Dana Desa dan Alokasi Dana Desa senilai Rp80.371.586,58; tidak sesuai ketentuan. Dan yang kelima, belanja perjalanan dinas pada 21 OPD senilai Rp1.544.996.070,00; tidak sesuai ketentuan.

Adapun rekomendasi yang dikeluarkan oleh BPK yakni yang pertama, agar Kepala OPD terkait menarik serta menyetorkan kelebihan pembayaran tunjangan ke kas daerah senilai Rp52.900.000,00; yang kedua, agar Kepala OPD terkait menarik serta menyetorkan kelebihan pembayaran pekerjaan senilai Rp1.023.007.542,69; yang ketiga, agar Kepala OPD terkait menginstruksikan Bendahara Pengeluaran OPD terkait untuk lebih cermat dalam melakukan pemungutan PPh Pasal 4 ayat 2 dan menarik serta menyetorkan kekurangan penerimaan Negara dari Pajak yang kurang dipungut senilai Rp20.997.041,09; yang keempat, membuat atau merevisi Peraturan Bupati tentang Penetapan Rincian Alokasi Dana Desa, penghasilan dan tunjangan Kepala Desa dan perangkat desa serta tunjangan BPD dengan memperhitungkan nilai ADD dan yang kelima, agar kepala OPD terkait menginstruksikan pelaksana perjalanan dinas supaya mematuhi ketentuan terkait pertanggungjawaban belanja perjalanan dinas dan mempertanggungjawabkan kelebihan pembayaran senilai Rp1.477.939.270,00; dengan menyetorkan ke kas daerah.

Saat menjawab pertanyaan wartawan, pria asal Purwokerto ini mengakui adanya indikasi pengulangan perbuatan yang sama yang ditemukan oleh auditor BPK saat memeriksa LKPD. “Pada dasarnya temuan yang ditemukan oleh auditur BPK itu hampir sama. Makanya apakah ini sudah menjadi suatu yang sistemik ataukah tidak, khususnya dalam aspek kekurangan volume pekerjaan. Jadi kalau kita melihat ada belanja modal atau belanja fisik seperti pembangunan jembatan atau gedung dan lain sebagainya, ketika kita periksa fisiknya dengan melakukan pengukuran kembali ternyata kita temukan pekerjaannya kurang. Ketika kita melakukan pemeriksaan pada aspek Laporan Keuangan memang belum sampai pada aspek itu atau sampai pada kesimpulan apakah ini merupakan sesuatu kesengajaan atau bersifat sistemik ataukah ada modus operandi dalam mengurangi volume untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya. Apakah motif meraih keuntungan yang sebesar-besarnya ini adalah dari motif pemborong ataukah ada kerjasama ataukah karena diakibatkan oleh nilai proyek yang dikurangi, tidak bisa kita nyatakan dalam kesempatan ini, karena kita masih terbatas dalam memeriksa laporan keuangan atau menguji keberadaan proyek atau menguji transaksi-transaksi keuangannya saja. Untuk mengukur adanya dugaan seperti itu ada namanya audit investigasi dan untuk melakukan audit investigasi itu dibutuhkan persyaratan yang cukup banyak,” pungkasnya. (GA. 211/215*).
Sumber: Garda Asakota