Mataram – Keinginan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melengkapi dokumen untuk mengaudit kerugian negara dalam dugaan korupsi APBD NTB 2003 yang melibatkan mantan anggota DPRD NTB Rachmat HIdayat dan Abdull Kappi, sulit terpenuhi. Pasalnya, dokumen yang diminta BPK tidak dimiliki penyidik Kejati NTB. “Dokumen yang diminta BPK itu tidak kami miliki,” kata Kasi Penkum Kejati NTB, Sugiyanta, pada wartawan, kemarin. Sebelumnya, BPK telah bersurat ke Kejati NTB terkait sejumlah dokumen yang dianggap masih diperlukan dalam audit kerugian negara. Dokumen ini akan jadi bahan yang akan lebih meyakinkan auditor terkait kerugian negara yang dilakukan tersangka. Kejati NTB telah menetapkan Rachmat-Kappi sebagai tersangka dalam kasus korupsi APBD NTB 2003 tersebut. Kasus ini telah menjerat mantan Gubernur NTB, H. L. Serinata, yang saat ini ditahan di Lapas Mataram. Dalam vonis ditetapkan bahwa H. L. Serinata secara sah dan meyakinkan melakukan korupsi secara bersama-sama. Kejati NTB menegaskan berkas pemeriksaan Rachmat-Kappi hanya terkendala hasil audit BPK. Menurut Sugiyanta, dokumen yang diminta pihak BPK adalah risalah sidang dan kuitansi penggunaan anggaran. Namun, Sugiyanta tidak merinci kuitansi penggunaan anggaran apa saja yang diminta BPK. Kejati sudah meminta Pemprov NTB untuk memberikan dokumen tersebut, namun belum diberikan. Alasannya, dokumen ini berkas lama sehingga sulit untuk ditemukan. “Jika kuitansi ini tidak ada berarti mereka (pihak dewan, Red) menggunakan anggaran tanpa pertanggungjawaban,” jelasnya. Sugiyanta heran dengan permintaan BPK ini. Sebab risalah sidang dan kuitansi ini tidak diminta auditor BPK pusat saat dilakukan audit terhadap kasus H. L. Serinata. Sebelumnya, Humas BPK Perwakilan NTB, Ida Bagus Ketut Wisnu, didampingi tim auditor Egang Irawan, mengungkapkan bahwa, pemeriksaan terhadap orang per orang dalam audit ini memerlukan data yang berbeda, meski kasusnya berada dalam satu rangkaian. Namun, bagi pihak BPK ada tidaknya dokumen ini tidak menjadi kunci apakah bisa dilakukan audit atau tidak. “Ini kan soal kerugian negara. Jadi, kami harus punya banyak data dan dokumen untuk memberikan kami keyakinan mengenai kerugian negara yang ditimbulkan,” jelas Ida Bagus Ketut Wisnu. Lombok Post, 15 Agustus 2010 |