MATARAM-Banyaknya potensi pendapatan asli daerah (PAD) dan aset yang belum dikelola maksimal menjadi catatan penting DPRD NTB. Untuk itu, Badan Anggaran (Banggar) DPRD NTB meminta kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) NTB melakukan audit terhadap semua potensi pendapatan. Termasuk di dalamnya pengelolan aset daerah. ”Banggar meminta ada audit juga yang dilakukan oleh BPK,” kata Wakil Ketua DPRD NTB H Abdul Hadi usai rapat paripurna, kemarin (15/6).
Audit tersebut menurutnya sangat dibutuhkan agar ada hasil perhitungan yang jelas terkait potensi penerimaan, seperti retribusi. Karena saat ini dewan juga tengah membuat satu buah perda tentang retribusi. Sebelum aturan baru itu disahkan, maka sebaiknya pemerintah harus benar-benar memastikan terlebih dahulu, berapa angka pasti potensi dan yang bisa ditarik. Baru kemudian bisa dimasukkan ke dalam APBD Perubahan 2017. ”Karena selama ini tidak signifikan penerimaan dari pos retribusi,” katanya.
Dengan adanya audit dari BPK, mereka akan mengecek potensi. Sehingga bisa klir berapa potensi pasti yang bisa ditarik. Sehingga diharapkan kenaikan pendapatan daerah itu signifikan. ”Tapi setelah nyata dilakukan audit BPK,” kata politisi PKS itu.
Menurutnya, perkembangan daerah yang signifikan dengan investasi bergeliat. Maka ia juga yakin bahwa saat ini sudah ada perubahan-perubahan nilai atas aset dan penarikan retribusi. Misalnya, penyewaan aset-aset daerah. Dulu memang harganya masih murah, tapi dengan perkembangan yang signifikan mestinya nilai sewa juga dinaikkan. Tapi saat ini banyak aset daerah yang disewakan ke pihak ketiga menggunakan tarif lama.
”Ini perlu ada audit ulang potensi,” katanya.
Peran BPK menurutnya sangat penting untuk menilai dan memberikan catatan-catatan terkait potensi pendapatan. Hal itu menurutnya akan banyak membantu DPR melihat kondiisi yang sebenarnya. Sebab ia percaya tim dari BPK akan langsung turun mengecek ke lapangan, dibandingkan DPRD yang hanya menerima laporan saja. Jika sudah ada hasil audit, maka dewan akan lebih leluasa mudah membahasnya.
”Audit pendapatan ini hanya salah satu saja,” ktanya.
Menurut Hadi, kebocoran PAD melalui sektor retribusi mungkin tidak tidak ada. Hanya saja yang dilakukan adalah untuk menyesuaikan tarif lama dengan kondisi saat ini. Jumlah yang ditetapkan puluhan tahun lalu, kini harus disesuaikan dengan perkembangan daerah. Meski itu bukan kebijakan pemerintah saat ini, tapi harus dipikirkan bagaimana pengelolaan potensi retribusi bisa dilakukan dengan baik.
Sementara terkait tindak lanjut atas temuan BPK, Hadi meminta kepada eksekutif untuk segera menuntaskannya. Ia berharap waktu 60 hari yang dimiliki, bisa dimanfaatkan dengan maksimal. ”Bagi kami satu bulan saja cukup,” katanya.
Sebelumnya, Kepala Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Wilayah NTB Wahyu Priyono mengungkapkan, BPK memiliki lima temuan Sistem Pengendalian Internal (SPI). Pertama, pengelolaan kas di RSUD Provinsi NTB yang dikeluarkan bendahara pengeluaran belum sesuai ketentuan. Kedua, pengelolaan retribusi jasa usaha atau aset belum maksimal. Terkait retribusi, banyak penyewa yang sudah habis masa kontraknya tapi masih dibiarkan. Sehingga untuk pengelolaan aset itu, BPK memberikan penekanan khusus agar diperbaiki.
Selain itu, temuan lain seperti pengelolaan persediaan pada RSUD Provinsi NTB belum memadai. Mestinya persediaan itu disimpan digudang dan dicatat kapan batas kedaluarsa, tapi pencatatan itu belum tertib. Keempat, investasi pemerintah pada dua perusahaan yang bukti kepemilikannya belum ada, padahal sudah lama. Dan kelima, masalah belanja bantuan sosial yang sudah disalurkan. Hanya saja pertanggungjawaban dari penerima bantuan itu tidak ada. (ili/r7)
Sumber: Lombok Post