Oleh : Seviola Islaini
Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi (RPMT) merupakan salah satu dari empat jenis retribusi daerah baru yang ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD). Merdasarkan UU tersebut RPMT dikategorikan pada retribusi jasa umum dan Pasal 124 menyebutkan objek RPMT adalah pemanfaatan ruang untuk menara telekomunikasi dengan memperhatikan aspek tata ruang, keamanan, dan kepentingan umum.
RPMT dikelola dan dipungut oleh dinas perhubungan pemerintah kabupaten dan kota kepada masing-masing pemilik menara telekomunikasi yang berada di wilayah kabupaten dan kota.Sesuai ketentuan dalam UU PDRD, pengaturan lebih lanjut terkait retribusi jasa umum, termasuk RPMT telah diberikan kewenangan kepada pemeritah daerah untuk menetapkannya sendiri melalui peraturan daerah tetapi tetap harus memperhatikan batasan-batasan yang sudah ditetapkan oleh UU PDRD.
Permasalahan terjadi ketika keluarnya putusan MK Nomor 46/PUU-XII/2014 tanggal 26 Mei 2015 yang mencabut penjelasan Pasal 124 UU PDRD, khususnya pada frasa tentang tarif RPMT yang menggunakan perhitungan 2% dari NJOP merupakan hasil pengujian UU PDRD terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945) yang dimohonkan oleh PT Kame Komunikasi Indonesia karena merasa dirugikan dengan berlakunya penjelasan Pasal 124 UU PDRD, yang menyatakan:
“Mengingat tingkat penggunaan jasa pelayanan yang bersifat pengawasan dan pengendalian sulit ditentukan serta untuk kemudahan penghitungan, tarif retribusi ditetapkan paling tinggi 2% dari nilai jual objek pajak yang digunakan sebagai dasar penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan menara telekomunikasi, yang besarnya retribusi dikaitkan dengan frekuensi pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi tersebut.”
Putusan MK Nomor 46/PUU-XII/2014 berdampak luas pada pengelolaan RPMT. Sejak terbitnya keputusan MK tersebut pada tanggal 26 Mei 2015 dampaknya langsung dapat dirasakan oleh pemerintah daerah yaitu penolakan dari pemilik Menara telekomunikasi untuk membayar RPMT. Hal tersebut dilatar belakangi oleh kondisi bahwa hampir semua peraturan daerah terkait RPMT menggunakan cara perhitungan yang mengacu kepada penjelasan Pasal 124 UU PDRD
Pemerintah Daerah dalam menetapkan Peraturan Daerah terkait perhitungan besarnya RPMT dianggap mengacu pada bunyi penjelasan Pasal 124 UU PDRD. Perhitungan tersebut tidak didasarkan pada biaya-biaya pengawasan dan pengendalian, serta dianggap tidak adil dan menimbulkan ekonomi berbiaya tinggi terkait dengan beban pelaku usaha di daerah.
Pada hakikatnya, penjelasan dalam peraturan perundang-undangan bukanlah substansi yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, karena yang mengikat sebagai norma adalah pasal-pasal dalam batang tubuh peraturan perundang-undangan, bukan penjelasannya. Hal ini sesuai dengan penegasan Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pada angka 177 bahwa penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut dan tidak boleh mencantumkan rumusan yang berisi norma. Penjelasan dalam peraturan perundang-undangan hanya berfungsi sebagai tafsir resmi pembentuk peraturan perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu, penjelasan hanya memuat uraian terhadap kata, frasa, kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam norma yang dapat disertai dengan contoh. Penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud. Sesuai dengan ketentuan tersebut, maka penjelasan Pasal 124 UU PDRD tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum atau acuan bagi pemerintah daerah dalam membuat peraturan daerah untuk menetapkan tarif RPMT.
MK dengan berbagai pertimbangan, dalam putusannya mengabulkan sekaligus mencabut penjelasan Pasal 124 UU PDRD, sedangkan ketentuan Pasal 124 UU PDRD yang menegaskan bahwa objek RPMT adalah pemanfaatan ruang untuk menara telekomunikasi dengan memperhatikan aspek tata ruang, keamanan, dan kepentingan umum masih tetap berlaku.
Berdasarkan pada ketentuan Pasal 151 dan 152 UU PDRD besarnya atau penetapan tarif RPMT seharusnya didasarkan pada biaya jasa pengawasan, dalam rangka pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi agar tetap sesuai dengan tata ruang, keamanan, dan kepentingan umum. Namun jika melihat peraturan daerah yang berlaku di berbagai daerah di Indonesia, tidak mendasarkan pada ketentuan bahwa besarnya retribusi yang terutang itu didasarkan pada jasa yang telah diberikan pada wajib retribusi, tetapi mendasarkan pada ketentuan penjelasan Pasal 124 UU PDRD.
Penjelasan Pasal 124 UU PDRD justru membuat ketidakjelasan yang terkandung dalam Pasal 124 UU tersebut, disatu sisi seolah-olah penetapan tarif retribusi tetap mengacu pada biaya pengawasan dan pengendalian, namun disisi lain biaya pengawasan dan pengendalian dinyatakan sulit dilakukan sehingga digunakan batasan tarif tertinggi 2% dari NJOP.
Menentukan besarnya RPMT dengan menggunakan NJOP tidak dapat mencerminkan beban yang dipikul oleh pemerintah daerah dalam menjalankan jasa pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi, justru dapat menimbulkan ketidakpastian atau mungkin ketidakadilan. Jika menggunakan NJOP dalam perhitungan besar RPMT, maka antara menara telekomunikasi yang berada di tengah kota dengan di desa atau di pegunungan akan lebih besar RPMT untuk menara telekomunikasi yang terletak di tengah kota karena mahalnya harga tanah di kota yang berpengaruh pada tingginya NJOP. Padahal untuk melakukan pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi yang berada di desa atau di pengunungan memerlukan biaya yang lebih besar dari pada di tengah kota yang mudah di akses.
Disisi lain, penjelasan Pasal 124 UU PDRD dapat dimaknai sebagai batasan bagi pemerintah daerah dalam menetapkan besaran RPMT yang tidak boleh melebihi nilai 2% dikalikan NJOP. Hal ini justru memberikan kepastian hukum agar pemerintah daerah tidak sewenang-wenang dalam menentukan besarnya RPMT. Sehingga rumus apapun yang digunakan oleh pemerintah daerah (selama sesuai dengan koridor peraturan perundang-undangan), nilai yang ditagihkan kepada masyarakat tidak boleh melampaui batasan tersebut. Hal ini tentunya untuk melindungi masyarakat dari pengenaan RPMT yang terlalu besar. Maka dengan dicabutnya penjelasan Pasal 124 UU PDRD konsekuensinya adalah tidak ada lagi batasan bagi pemerintah daerah dalam mengenakan besaran RPMT kepada masyarakat. Pemerintah daerah memiliki kewenangan menetapkan besar RPMT melalui peraturan daerah, dengan rumus yang bahkan lebih besar dari 2% dikalikan NJOP, selama rumus tersebut mencerminkan beban yang dipikul oleh pemerintah daerah/tingkat penggunaan jasa dalam menyelenggarakan pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi.
Perlu dipahami bahwa putusan MK merupakan keputusan yang bersifat deklaratoir dan konstitutif, yang tidak membuat norma hukum baru dan/atau mempunyai kekuatan hukum sebagai putusan eksekutorial yang menjadi solusi/penyelesaian hukum terhadap alasan dan permasalahan hukum yang menjadi kepentingan pemohon untuk mengajukan pengujian UU (judicial review) ke MK. Sehingga apapun keputusan yang diambil oleh MK sejatinya hanya menyangkut apakah norma hukum yang diujikan tersebut bertentangan atau tidak dengan konstitusi (UUD 1945) dan apakah norma hukum itu mempunyai kekuatan hukum dimaksud berlaku mengikat atau tidak sebagai norma hukum. Sedangkan pemberlakuan peraturan daerah yang mengatur dan menetapkan RPMT tetap berlaku dan mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dengan demikian maka putusan MK Nomor 46/PUU-XII/2014 tidak berdampak terhadap pemberlakuan peraturan daerah terkait RPMT. Karena putusan MK atas permohonan yang telah dikabulkan seluruhnya oleh MK, tidak mencabut/membatalkan/ menyatakan bahwa peraturan daerah yang telah ditetapkan/disahkan di berbagai daerah mengenai RPMT menjadi tidak sah dan/atau tidak mempunyai kekuatan hukum/berlaku mengikat.
MK dalam putusannya hanya mencabut penjelasan Pasal 124 UU PDRD, sedangkan ketentuan Pasal 124 UU PDRD serta pasal-pasal yang lain masih berlaku. Dapat ditarik kesimpulan bahwa peraturan daerah terkait RPMT tetap berlaku, hanya saja cara perhitungannya perlu direvisi sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU PDRD.