Elemen masyarakat dari Gerakan Masyarakat Anti Korupsi (GMAK) NTB melaporkan dugaan manipulasi dokumen pertanggungjawaban reses yang terindikasi dilakukan Ahmad Yadiansyah, S.Sos, anggota DPRD NTB. Dalam berkas tersebut, GMAK yang diketuai M. Syahrul Mubarak membeberkan data-data dugaan manipulasi yang diduga dilakukan Ahmad Yadiansah, anggota Dewan daerah pemilihan (Dapil) 4 ( Kabupaten Bima, Kota Bima dan Dompu). Dalam laporan itu, GMAK melampirkan surat pernyataan dari sejumlah warga yang menarik tanda tangannya dalam dokumen pertanggungjawaban reses yang dibuat Yadi. Meski hanya beberapa warga yang menarik dukungannya, namun laporan itu tak urung memantik dugaan ada permainan dalam penggunaan dana reses itu. Informasi soal penggunaan dana reses diduga disimpangkan oleh oknum anggota DPRD NTB, juga dilaporkan ke Inspektorat NTB. Selain ke Gubernur NTB, Kejaksaan Tinggi NTB, Polda NTB, BPKP serta sejumlah institusi terkait lainnya.
Bagi Inspektorat, auditor internal ini akan mencermati dugaan reses fiktif. Tidak hanya atas nama Ahmad Yadiansyah, S.Sos, tapi seluruh anggota DPRD NTB. Dikonfirmasi Suara NTB, Sabtu (27/2) lalu, Inspektur pada Inspektorat NTB Dr.M. Agus Patria, SH., MH, mengakui sudah mencermati informasi laporan dana reses salah satu anggota Dewan itu. Namun apakah sudah dilakukan pemeriksaan detail atau belum, dia harus mengecek detailnya ke tim. ‘’Saya coba cross check ke tim dulu. Apakah sudah diperiksa atau belum,’’ kata dia.
Menurut Agus Patria, jika reses itu terjadi di tahun 2015, maka dipastikan sudah dilakukan pemeriksaan. Tapi diakuinya, masih bersifat audit general. Artinya tidak hanya kepada laporan keuangan atas Ahmad Yudiansyah, tapi keseluruhan untuk Surat Pertanggunjawaban (SPJ) para politisi Udayana yang dilaporkan melalui Sekretariat Dewan (Setwan). Timnya akan mengecek atau audit khusus jika ada laporan masyarakat atas indikasi dana reses itu bermasalah. ‘’Kalau ada laporan, baru kita audit khusus,’’ tegasnya. Dan untuk kasus Ahmad Yudiansyah, jika memang pernah ada laporan masuk atau diributkan setelah pelaksanaan, maka dipastikan Agus Patria, akan diaudit. ‘’Kalau pun diaudit, apa hasilnya, saya cek dulu,’’ ujarnya.
Mantan Penjabat Bupati Dompu ini juga sebelumnya menanggapi sorotan soal naiknya dana reses Dewan menjadi Rp 11 miliar lebih. Kenaikan signifikan yang terus disorot masyarakat itu, menjadi atensinya. Apalagi jika di lapangan ditemukan indikasi penyimpangan, berpeluang diaudit.
‘’Setiap masukan masyarakat akan kami tindaklanjuti. Jika ini (dana reses) jadi perhatian, kemudian ada laporan penyalahgunaan dana, bisa kami langsung audit,’’ tegas Agus Patria.
Pada intinya semua anggaran yang sumbernya dari APBD akan jadi bahan audit pihaknya, apalagi didukung dengan laporan indikasi penyimpangan di lapangan. Tetapi dalam konteks dana reses Dewan ini, dia jelaskan, masih jauh dari proses audit, karena pelaksanaan tahun 2015. Audit akan dilakukan tahun 2016 mendatang, disesuaikan dengan alokasi anggaran.
Peluang Dikorupsi
Ada sejumlah oknum anggota DPRD NTB tahun 2015 yang penggunaan dana resesnya diduga bermasalah. Jika benar, maka itu bisa dikategorikan sebagai suatu perbuatan pidana dalam konteks tidak pidana korupsi. Tapi bicara solusi agar ini tidak berlanjut, harus ada upaya antisipasi lebih dini. Bentuk yang direkomendasikan, dengan menggandeng asisten pribadi bagi setiap anggota Dewan untuk membantunya melaksanakan aktivitas sekaligus pengelolaan anggaran.
‘’Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014, anggota Dewan itu memang dimungkinkan secara kelembagaan memiliki asisten pribadi yang membantunya mengurus semua urusan administrasi. Sehingga pikirannya tidak terbagi untuk mengurus hal remeh temeh seperti mengurus administrasi yang justru membuatnya tidak maksimal dalam melakukan reses,” kata Akademisi Fakultas Hukum Universitas Mataram Dr. Muhammad Risnain, SH., MH kepada Suara NTB, di Mataram, Rabu (24/2).
Menurutnya, anggota Dewan memang memiliki potensi untuk melakukan reses fiktif melihat cara pertanggungajwabannya yang dinilai sangat mudah. Oleh sebab itu Risnain menilai bahwa cara pengalokasian dana untuk reses Dewan perlu diperbaiki. Misalnya dengan menyatukan anggaran reses Dewan dengan tunjangannya. Sehingga tidak perlu melakukan laporan pertanggungjawaban.
Menurut Risnain, besarnya potensi melakukan reses fiktif itu karena didukung pula oleh administrasi melakukan reses yang cukup mudah. Hanya dengan membuat daftar hadir dan (bisa jadi) memalsukan tanda tangan, laporan melakukan reses sudah diterima. Padahal itu menggunakan anggaran dari uang negara dengan jumlah yang tidak sedikit. Lain halnya jika setiap anggota memiliki asisten pribadi yang mengurus setiap kegiatan yang akan dilakukan Dewan. Potensi untuk melakukan pelanggaran menjadi minim, sebab ada yang membantu dan sekaligus dapat memberikan masukan dan nasihat.
Akuntabilitas Buruk
Terkait dengan munculnya dugaan penyimpangan dana reses Dewan, seperti kegiatan yang terindikasi fiktif, itu dianggap sebuah hal yang sangat memungkinkan terjadi. Meskipun sudah ada pemeriksaan yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
‘’Bisa jadi hasil pemeriksaan BPK itu sudah terpenuhi, tidak ada masalah. Tapi kita mahfum bersama, karena standar administratif sudah terpenuhi, dianggap tidak ada masalah,’’ kata Sekretaris Jendral (Sekjen) Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) NTB, Ervyn Kaffah, ditemui pekan kemarin.
Dalam kegiatan seperti reses, memang standar pemeriksaannya adalah secara administratif. Itu pun secara sampling. Di situlah, kata Ervyn, pentingnya pengawasan masyarakat. Ervyn mengatakan, munculnya masalah dalam kegiatan reses dikarenakan akuntabilitas yang buruk. Apalagi, selama ini masih menjadi pertanyaan sejauh mana hasil reses Dewan bisa berkontribusi untuk kesejahteraan masyarakat. Menurut Ervyn, permasalahan lainnya ialah soal akuntabilitas. DPRD turun ke masyarakat meminta aspirasi, selama ini seolah-olah tidak ada standar mengenai itu.
‘’Contohnya, Musrenbang, dari dusun sampai kecamatan. Itu jelas standarnya. Kalau mau dibandingkan, itu standarnya lebih bagus. Akhirnya kita bertanya-tanyainput atau aspirasi dari masyarakat apakah bisa terjamin sampai ke atas,’’ tanyanya.
Terutama terkait persoalan akuntabilitas. Anggota Dewan sudah melaksanakan reses dan menangkap aspirasi. “Sejauh mana itu diakomodir dalam kebijakan. Proses akuntabilitas dan feedback ke masyarakat, selama ini itu yang belum terjadi,” katanya.
Dikatakan, kasus-kasus yang muncul belakangan ini hanya sebagian kecil dari masalah yang lebih sistemik. ‘’Bisa jadi yang kita miliki hari ini, bisa jadi mungkin, buang-buang uang untuk reses, tapi hasil tidak ada,’’ kata Ervyn.
Secara umum, kata Ervyn, belum yakin apakah hasil reses yang mengeluarkan uang banyak itu masuk ke dalam suplemen kebijakan. Oleh karena itu dibutuhkan perbaikan standar mengenai reses. Agar lebih layak untuk dapat menjawab permasalahan di masyarakat.
“Publik itu butuh tahu. Kalau kami memberikan aspirasi itu diperjuangakan, setelah diperjuangkan hasilnya bagaimana. Ada ndak mekanisme itu? Sehingga orang tahu. Sehingga bisa jelas dan terukur,” katanya.
Dari perspektif Fitra, kata Ervyn, perlu pembenahan dalam sistem. Supaya kegiatan yang cenderung rutin, seperti reses ini, setiap tahunnya bisa lebih baik lagi dan terukur. Secara kualitas lebih bagus dan akuntabilitasnya lebih jelas.
‘’Sehingga kita bisa mempertanggungjawabkan uang publik yang digunakan untuk proses-proses itu, apakah sudah digunakan dengan efektif dan efisien,’’ katanya. (ars/lin/ron)
Sumber: http://suarantb.co.id/2016/02/29/peluang-korupsi-dana-reses.html