Giri Menang (Suara NTB) – Saham 10 persen Pemkab Lombok Barat (Lobar) menjadi temuan berulang oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) perwakilan NTB. Pasalnya, saham senilai Rp 1 Miliar ini tercantum di neraca APBD, akan tetapi tidak jelas keberadaan dananya. Selain itu Pemkab tidak pernah mendapatkan dividen dari saham 10 persen tersebut.
Terkait itu, Pemkab diminta lebih serius memastikan posisi saham itu. Pasalnya, berdasarkan hasil pertemuan yang sudah dilakukan DPRD dengan perusahan, bahwa saham itu berlaku delusi atau saham itu akan berkurang ketika pihak perusahaan tambang itu menambah modal. Sehingga saham 10 persen itu berpotensi menjadi beban hutang Pemkab Lobar di perusahaan tersebut.
Anggota DPRD Lobar, Indra Jaya Usman alias IJU mengatakan pihaknya sudah lama memberikan saran ke Pemkab terkait Indotan. Pertama kata politisi Demokrat ini, soal saham Pemkab 10 persen. Berdasarkan hasil pertemuan dengan pihak perusahaan tambang, bahwa akuisisi saham mayoritas PT Indotan oleh PT Ancora hanya mengambil Saham PT Indotan. Sedangkan Saham 10 persen milik Pemkab tidak diambil alih. “Banyak permasalahan di saham 10 persen Pemkab ini, masalahnya itu di mana? Di awal dulu bermasalah, karena kepemilikan Lobar terhadap saham 10 persen itu tidak pernah ada persetujuan DPRD, ujuk- ujuk dia ada,” tegas ketua Demokrat Lobar ini.
Awalnya dikatakan saham itu golden share non delusi (artinya saham Pemkab ini tidak berubah meskipun pihak perusahaan menambah saham). Akan tetapi, ketika melakukan korespondensi dengan pihak perusahaan ternyata tidak seperti pemahaman Dewan. Karena ternyata saham itu bersifat delusi. Artinya kalau misalnya pihak Perusahaan menambah saham 30 juta dollar, maka Pemkab memiliki beban atau kewajiban memberikan saham 10 Persen atau sekitar 3 juta dolar.
Kalau Pemkab tak ingin kehilangan saham itu, maka Pemkab harus memberikan saham itu. “Karena polanya, saham itu dihitung menjadi piutang Lobar. Jadi Pemkab harus menyuntik saham, atau bisa saja Pemkab tidak suntik uang. Pihak perusahaan yang mengupayakan uang itu, tapi tetap 10 persen itu menjadi tanggungan Lobar. Nanti pada saat pembagian dividen bisa saja dikurangi (dividen Lobar),” kata IJU.
Yang rumit lanjuti dia, saham senilai hampir satu miliar itu, selalu muncul di neraca APBD. Di satu sisi, kalau mau dikeluarkan dari neraca tidak bisa, karena tidak ada alasan DPRD mengeluarkan itu. Karena sebelumnya memang tidak pernah ada keputusan menyetujui saham itu dari lembaga DPRD.
Persoalan lain, pihaknya mempertanyakan sejauh mana keseriusan perusahaan ini untuk memulai usaha tambang emas di Sekotong. Karena hasil RUPS tahun 2019, pihak perusahaan berjanji akan melakukan eksploitasi tahun ini dengan menambah sahamnya. IJU juga menyarankan agar Pemkab mencari dan mengkaji skema yang benar secara hukum bagiamana pola kerjasama dalam hal pengelolaan saham tambang itu.
Yang perlu dilakukan Pemkab, yakni seperti Pemprov NTB di pertambangan PT Newmont terdahulu. Di mana konsorsium Pemprov dan dua Pemkab membentuk DMB, kemudian DMB bersama Multi Capital membentuk anak perusahan. “Seharusnya Pemkab Lobar melakukan itu, jangan Pemkab yang langsung ikut terlibat dalam kepemilikan saham itu. Karena aturan terbaru tidak boleh pihak Pemkab melakukan bisnis,”sarannya. Bisa saja Pemkab memberikan PT Tripat untuk memegang saham itu, kemudian PT Tripat bertindak atas nama pemkab melaksanakan bisnis dengan Indotan.
Sementara itu, Asisten II Setda Lobar, Rusditah mengatakan pihaknya dalam RUPS menuntut pihak perusahaan mempercepat eksploitasi atau produksi. “Karena jangan sampai RUPS-RUPS terus tapi dividen untuk daerah tidak bisa masuk,” tegas dia. Pihak perusahaan pun menyepakati untuk percepatan. Namun perusahaan sendiri saat ini sedang proses lelang kegiatan ke Pihak ketiga.
Untuk operasi ini nanti, pihak perusahaan butuh biaya 50 miliar dollar. Kemudian soal dividen memang belum masuk ke Pemkab, karena belum ada aktivitas. Soal saham 10 persen milik Pemkab, dari aturan yang dibacanya bahwa saham itu akan dibayar melalui dividen. Itu akan pelajari kembali, apakah aturan itu berubah kembali.
Soal posisi saham dan mekanisme pengelolaannya, sesuai saran DPRD? Pihaknya akan mempelajari dan membedahnya kembali dengan ahli hukum dan ahli ekonomi. Karena diakuinya, bahwa saham 10 persen itu menjadi temuan BPK. “Itu jadi temuan BPK, temuan berulang, karena ada di neraca tapi tidak ada uangnya. Itu perlu konsultasi ke BPK,” imbuhnya. (her)
Sumber: Suara NTB