Temuan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada item belanja perjalanan dinas anggota DPRD NTB tahun anggaran 2020, berulang setiap tahun. Bagi Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB, ini masih dalam ranah administrasi melalui Aparat Intern Pengawasan Pemerintah (APIP). Karena itu, mekanisme ranah pengusutan tindak pidana korupsi belum ditempuh.
‘’Tahun lalu kan juga ada, temuan ini tidak mungkin berulang kalau perjalanan dinasnya jelas,’’ ujar Kepala Kejati NTB, Tomo Sitepu, SH ditemui Jumat, 21 Mei 2021. LHP BPK menyebutkan temuan sebesar Rp248 juta dari anggaran perjalanan dinas 20 anggota DPRD NTB. Sementara tahun sebelumnya mencapai Rp800 juta.
Dari temuan tersebut, yang dikembalian Rp108 juta. Sisanya, Rp130 juta masih menunggak. Atas dasar itu, Kejati NTB belum mengambil langkah penyelidikan. Selain juga saat ini masih dalam masa tindaklanjut 60 hari sejak LHP tersebut disampaikan.
‘’Jangan dulu lah (penyelidikan). Larikan saja ke TPTGR (Tuntutan Perbendaharaan dan Tuntutan Ganti Rugi). Tinggal ganti kerugian negara saja lah. Masa karena duit segitu, kita jadikan tersangka anggota dewan,” papar Tomo.
Pada tahun 2020, Sekretariat DPRD NTB menganggarkan perjalan dinas anggota DPRD NTB sebesar Rp27 miliar. Rinciannya, perjalanan dinas dalam daerah sebesar Rp5,2 miliar, perjalanan dinas luar daerah Rp18,8 miliar dan perjalanan dinas luar negeri sebesar Rp3 miliar.
Terpisah Inspektur Provinsi NTB Ibnu Salim menyatakan masih mendalami LHP BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Provinsi NTB tahun 2020 tersebut. “Kita sedang pelajari. Kita kaan rekap untuk tindaklanjutnya,” ucapnya singkat.
LHP BPK atas LKPD Provinsi NTB tahun 2020 menyatakan adanya temuan untuk ditindaklanjuti. Diantaranya penerimaan lain-lain pada Balai Laboratorium Kesehatan Pengujian dan Kalibrasi belum dilaporkan dan disetor ke kas daerah. Malah langsung dipakai untuk operasional.
Selanjutnya, belanja perjalanan dinas pada Sekretariat DPRD tidak sesuai ketentuan. Pertanggungjawaban biaya penginapan lebih besar dari realisasi pembayaran. Kemudian pelaksanaan paket pekerjaan pada OPD tidak sesuai kontrak berupa kekurangan volume pekerjaan, keterlambatan penyelesaian pekerjaan yang belum dikenakan denda, dan perencanaan pekerjaan yang belum memadai. (why)
Sumber: Suara NTB