PEMPROV NTB berhasil mempertahankan predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) selama lima kali berturut-turut sejak 2011, 2012, 2013, 2014 dan 2015. Hal tersebut sesuai dengan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Pemprov NTB tahun 2015 yang disampaikan dalam rapat istimewa DPRD NTB, Kamis (9/6).
Meskipun berhasil mempertahankan opini WTP, namun BPK memberikan catatan-catan kepada Pemprov NTB untuk ditindaklanjuti. Diantaranya, BPK menemukan dana bergulir penempatan TKI ke luar negeri sebesar Rp 1,184 miliar tidak tersalurkan. Selain itu, ada juga temuan BPK terhadap pengerjaan delapan paket pekerjaan (proyek) yang tidak sesuai kontrak pada lima SKPD.
Penyerahan LHP dilakukan Anggota II BPK RI, Dr. Agus Joko Pramono kepada Gubernur NTB, Dr. TGH. M. Zainul Majdi dan Ketua DPRD NTB, H. Umar Said, S.Ag. yang disaksikan Wakil Gubernur NTB, H. Muh. Amin, SH, M.Si dan seluruh unsur pimpinan dan anggota DPRD NTB. Anggota II BPK RI, Dr. Agus Joko Pramono mengatakan opini WTP yang didapat Pemprov NTB atas LKPD 2015 itu merupakan pencapaian yang luar biasa. Mengingat, standar akuntasi yang digunakan yakni berbasis akrual , yang diakui tak mudah. ‘’Ada 30 persen kementerian di pusat yang terpaksa turun opini karena proses implementasi dari basis akrual ini membutuhkan effort (usaha) yang luar biasa. Dari sisi pencatatan, pelaporan dan pembuktian. Banyak yang harus dilakukan untuk menerapkan standar akuntansi berbasis akrual ini,”ucapnya.
Meskipun NTB memperoleh opini WTP, lanjut Agus, namun BPK juga menemukan beberapa permasalahan yang perlu mendapat perhatian dari Pemprov NTB. Pertama, dana bergulir penempatan TKI ke luar negeri pada Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Syariah Patuh Beramal senilai Rp 1,184 miliar tidak tersalurkan. Kedua, pengembalian dana bergulir pengembangan usaha mikro pada BPMPD mengendap di rekening penampungan kas sebesar Rp 390 juta. Kemudian, pengelolaan penerimaan klaim ambulans rujukan pasien tidak mampu dari BPJS Rumah Sakit HM. Manambai Abdul Kadir tidak melalui mekanisme APBD sebesar 343 juta. Keempat, penganggaran dan realisasi belanja perjalanan dinas sebesar Rp 198 juta tidak dianggarkan pada anggaran yang tepat, karena dianggarkan pada belanja modal. Kemudian kelima, delapan paket pekerjaan pada lima SKPD diselesaikan tidak sesuai dengan kontrak senilai Rp 143 juta dan denda keterlambatan senilai Rp 27 juta belum disetor.
Apakah temuan-temuan BPK yang harus ditindaklanjuti Pemprov ini merupakan kerugian negara? Ia mengatakan, laporan hasil pemeriksaan BPK belum atau tidak dirancang untuk mencari apakah ada kerugian negara atau tidak. Ia lantas mengingatkan berbagai pihak tidak langsung menyimpulkan temuan tersebut merupakan kerugian negara. “BPK sendiri punya audit prosedur terhadap perhitungan kerugian negara, kita punya audit prosedur tersendiri untuk itu. Namun hal demikian harus menjadi perhatian untuk diperbaiki. Permasalahan administraif ini harus diselesaikan dalam waktu 60 hari,’’ katanya.
Seandainya, kata Agus hal ini tak diperbaiki/ditindaklanjuti dalam waktu 60 hari dan menjadi temuan lanjutan pada pemeriksaan tindak lanjut. Kemudian BPK mendalami maka mungkin saja ini akan menjadi perhitungan kerugian negara. ‘’Untuk itulah, hal-hal yang menjadi rekomendasi BPK dapat ditindaklanjuti sesuai amanat UU. Karena ini amanat UU,’’ imbuhnya. Agus mengatakan banyak yang salah dalam mendefinisikan opini BPK. Opini BPK tidak dirancang pemeriksaannya untuk ada atau tidak kerugian negara di dalamnya. Opini BPK tidak dirancang untuk mencari apakah ada penggelapan, penyalahgunaan kewenangan, ataupun pemalsuan di dalamnya.
“Opini BPK dirancang semata-mata untuk menilai apakah laporan keuangan tersebut wajar atau tidak wajar atau ada hal-hal yang dikecualikan dibandingkan dengan standar pelaporan. Dalam konteks membaca laporan keuangan, para pihak seharusnya memahami terlebih dahulu bagaimana cara menyikapi opini yang diberikan,”ucapnya. Sesuai ketentuan, katanya, BPK diberikan waktu oleh UU untuk memeriksa laporan keuangan yang diterbitkan oleh Pemprov NTB dalam waktu dua bulan. Dalam waktu dua bulan itulah BPK membentuk prosedur yang menguji apakah laporan keuangan tersebut dibuat sesuai standar akuntansi. (nas/jun)